Ulasan Buku “Saya Tidak Ingin Kaya, Tapi Harus Kaya – Aa Gym” : Meraih Kekayaan Hakiki
KH Abdullah Gymnastiar atau lebih
sering akrab disapa dengan panggilan Aa Gym ialah ikon penting dalam semangat
perubahan Indonesia. Beliau dipandang sebagai sosok multitalenta yang mampu
berprestasi dalam bidang dakwah, seni,
bisnis, dan hobinya yang tidak biasa, seperti terjun payung, berkuda, menyelam,
dan menembak.
Buku ini membahas mengenai
hakikat kekayaan. Bahwasannya kekayaan bukan dipandang sebagai satu dimensi,
namun multidimensi. Masih banyak orang-orang yang salah paham mengenai kekayaan
sehingga berujung penyesalan seumur hidupnya.
Mengapa masyarakat muslim di
dunia rata-rata kurang makmur walaupun negaranya memiliki sumber daya alam yang
melimpah ruah. Bersamaan dengan itu, negara-negara yang mayoritas bukan islam
meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun berhasil membagun
kemakmuran. Kita bisa menyaksikan bahwa betapa ekonomi yang lemah mengakibatkan
kemampuan menuntut ilmu menjadi lemah, tingkat kesehatan yang lemah, kualitas
sumber daya manusia menjadi sulit bersaing dengan negara maju, dan akhirnya
mengakibatkan umat dalam kondisi tersudut dalam berbagai hal. Dalam sebuah
perenungan ini, coba kita menengok kembali hakikat dari kekayaan dan
kemakmuran.
Pada zaman Rasulullah SAW, kita
mengenal sahabat Abu Bakar yang kaya raya, tetapi kemudian menyerahkan hartanya
untuk perjuangan Islam. Kita juga mengenal Abdurrahman bin ‘Auf, sang
konglomerat yang penuh strategi bisnis, namun beliau tidak takut miskin. Mereka
kaya dan akhirnya memilih berniaga dengan Allah, sehingga mereka tidak terbeli
oleh dunia. Dengan mudah mereka menyalurkan seluruh kekayaannya, lalu memulai
berusaha lagi. Namun, mereka tetap mendapat kemenangan dan kemuliaan di sisi
Allah.
Kekayaan sesungguhnya tidak
identik dengan melimpah ruahnya harta. Hal ini karena banyak pula kekayaan
justru membuat kehinaan dan bencana disebabkan niat dan cara yang salah, baik
dalam mencari maupun menggunakannya. Sifat-sifat serakah, egois, licik, zalim
di dalam upaya mencari harta menunjukkan bahwa yang dibutuhkan bukan kekayaan
harta, tetapi kekayaan dalam bentuk yang lain.
Orang kaya seseungguhnya adalah
orang yang benar-benar menjalankan perintah Allah, sehingga kekayaan mereka
berkah dan bermanfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu, kaya itu harus bagi
kita, guna menjadi sebaik-baik manusia yaitu paling bermanfaat buat semuanya.
Menjadi kaya itu sering jadi
impian banyak orang. Namun, tidak semua orang berhasil mewujudkan impiannya
menjadi kaya. Ternyata tidak semua orang terampil menjemput rezeki yang telah
Allah sediakan. Adakalanya semangat yang payah membuat ikhtiar menjadi goyah.
Ilmu yang sedikit membuat ikhtiar kurang menggigit. Amal ibadah yang tidak
istiqamah membuah ikhtiar melemah. Jadi, semata-mata bukan persoalan tidak
adanya rezeki, melainkan terampil menjemputnya atau tidak.
Kekayaan memang tidak bisa
dipandang dari satu dimensi saja yakni harta. Melainkan sangat bergantung pada
aspek-aspek yang lain yakni kaya ghirah (semangat), kaya input (masukan ilmu,
wawasan, serta pengalaman), kaya gagasan (pengalaman), kaya ibadah (amal), kaya
hati, dan kaya harta hanya sebagai bonusnya saja.
Bayangkan saja, jika ada
seseorang yang hidupnya penuh semangat membara, memiliki ilmu yang luas,
pengalaman yang banyak, serta penuh gagasan dan ide kreatif. Kelebihannya
disertai dengan kekayaan amal ibadah. Semua aktivitasnya dilakukan dengan niat
ibadah dan diiringi dengan kesungguhan melakukan ibadah serta doa dengan
dihiasi hati yang tak tersentuh sombong, iri, dengki, benci, dan dendam. Namun,
dengan hati yang tulus dan penuh kasih sayang. Alhasil, betapa efektifnya
hari-hari yang dilalui. Jadi, perkara menjemput rezeki yang halal, berkah, dan
melimpah adalah perkara yang mudah. Demikianlah resultan dari berbagai
aspek-aspek kekayaan tadi bisa menjadikan seorang Muslim yang berdaya hebat,
sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sukses dan beruntung yakni yang
paling banyak bermanfaat untuk manusia lain.
Dalam paradigma Islam, kesuksesan
memang bukan hanya dilihat dari kekayaan dan aspek duniawi, melainkan juga
ukhrawi. Untuk itu, kita memerlukan suatu sistem atau pola hidup yang
memungkinkan kita untuk dapat meraih sukses di dunia sekaligus di akhirat. Satu
hal yang sejak awal harus direnungkan yakni sukses di dunia jangan sampai
menutup peluang untuk meraih sukses di akhirat.
Dengan begitu, kita harus sepakat
bahwa alat ukur kesuksesan bukanlah topeng dunia. Islam menekankan bahwa
sesungguhnya orang yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah yang paling
berhasil membaca, menggali, dan memompa potensi dirinya, sehingga bisa sukses
berkarir di jalan yang di ridhoi-Nya. Dengan demikian, kesuksesan ialah dia
yang memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, serta maslahat bagi dunia
dan membawa arti bagi akhirat kelak.
Comments
Post a Comment