Ulasan Buku “Shalahuddin Al Ayyubi – John Man” : Meneladani Kesuksesan Kepemimpinan Sang Penakluk Yerusalem
John Man ialah seorang sejarawan
dan juga travel writer yang memiliki
ketertarikan khusus mengenai dunia Islam dan Timur Tengah, termasuk Mongolia.
Salah satu karya terbesarnya menceritakan tokoh legendaris Jengis Khan dalam
sejarah kekaisaran kuno.
Buku ini menggambarkan sejarah
penaklukkan Yerusalem dari segi pasukan Muslim yang dipimpin oleh Shalahuddin
Al Ayyubi maupun dari segi Tentara Salib. Untuk ukuran buku biografi dan
sejarah, buku ini cukup mengalir saat dibaca namun tidak mengurangi esensi dari
fakta sejarah yang ada.
Shalahuddin Al Ayyubi lahir
sekitar tahun 1137 Masehi, pada saat masa-masa kejayaan kerajaaan Abbasiyah
telah berakhir karena kemewahan, kemudian terpecah-belah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil, dan juga terkoyak-koyak oleh Tentara Salib.
Shalahuddin kecil lahir di Tikrit, sekarang di Irak. Ayahnya, Ayyub, mewarisi
posisi Gubernur Tikrit pada tahun 1130-an.
Sebelum menjalani perang yang
besar, Shalahuddin telah menjalani perang kecil yang baik, memimpin dengan sukses
di lapangan, mengatur pertahanan dari sebuah pengepungan, yang berakhir tanpa
pertumpahan darah. Pada tahun 1177 M, Shalahuddin memimpin 26.000 tentara
keluar dari Mesir. Dalam hal ini, Shalahuddin memiliki visi tentang persatuan
Islam untuk mengusir Tentara Salib. Berbagai pertempuran dan negosiasi terjadi
hingga beberapa wilayah berhasil Shalahuddin taklukkan.
Puncaknya, pada 30 September 1183
M, Shalahuddin dengan pasukan Muslim terbesar sampai saat itu, melakukan apa
yang mungkin saja menjadi upaya pertamanya untuk menaklukkan Kerajaan
Yerusalem. Mereke saling mengamati selama lima hari, saat pasukan pasukan
Shalahuddin mengirim beberapa regu untuk memancing pasukan Kerajaan Yerusalem
keluar kemudian memulai serangan akan tetapi Raja Yerusalem gentar. Maka dimulailah masa kebuntuan kedua
belah pihak, selama dua tahun menunggu celah yang tak pernah muncul.
Pada tahun 1187 M meletuslah
perang Hittin antara pasukan Muslim dan Tentara Salib. Usaha pengepungan dan
negosiasi pun berlangsung hingga berhari-hari lamanya membuat persedian air
menipis. Beruntunglah pasukan Muslim telah mengusasi Danau Tiberias sehingga
Tentara Salib dapat dikalahkan dengan Raja Guy, Raja Yerusalem, menjadi tawanan
yang berharga.
Pada Minggu, 20 September, Shalahuddin
tiba di sisi luar Yerusalem. Kota itu penuh sesak oleh pengungsi, tengah
mengalami krisis, kekurangan prajurit akibat perang Hittin, juga hanya ada satu
laki-laki untuk setiap lima puluh wanita, serta hanya ada empat belas kesatria.
Setelah lima hari yang panjang
melakukan pengepungan. Kota itu pun terpojok apalagi dengan jumlah kesatria
yang sangat sedikit. Kemudian Balian, pemimpin kota itu, datang untuk memohon
kepada Shalahuddin. Namun, Balian masih memiliki kartu sakti yakni membumi
hanguskan Yerusalem, yang akan membuat Shalahuddin tidak akan mendapatkan apa-apa. Shalahuddin lebih
memilih jalur perjanjian damai karena beresiko kehilangan hadiah yang ia
perjuangkan selama ini. Yerusalem pun bisa menjadi milik pasukan Muslim dan orang-orang
Kristen dapat menebus diri mereka sendiri. Dan kemudian Salat Jumat pertama di
Masjid Al Aqsha setelah penaklukan kota itu berlangsung pada 9 Oktober 1187 dan
itu khutbah pertama setelah delapan puluh delapan tahun.
Shalahuddin Al Ayyubi adalah
sosok pahlawan, pemersatu, dan pemimpin yang telah menghancurkan Tentara Salib
dan merebut kembali Yerusalem. Ia dikagumi baik oleh pengikutnya maupun
musuhnya. Apa pelajaran yang bisa diambil darinya?
Salah satu kunci kesuksesan
Shalahuddin adalah menggabungkan dua gaya kepemimpinan yakni kekuatan keras dan
lembut. Beberapa kali dalam sejarah, kepemimpinan disamakan dengan penggunaan
kekuasaan secara kejam. Salah satu penyokongnya yaitu Shang Yang, menulis
sekitar 400 SM bahwa dia menyarakan bagi mereka yang memerintah, kekuatan
adalah kebenaran, kekuasaan adalah segala-galanya. Menurutnya manusia itu
pemalas, serakah, pengecut, pengkhianat, bodoh, dan licik. Satu-satunya cara
untuk berurusan dengan mereka dengan cara membujuk, menakut-nakuti, dan
menghukum mereka. Shalahuddin bisa saja menerapkan pendekatan kekuatan keras
semacam itu seperti menyerang Tentara Salib dengan kekejaman tanpa henti. Namun
ia memilih jalan lain, ia memadukan paksaan dan ajakan. Kehalusan seperti itu
menjadikan ia teladan kepemimpinan modern.
Kunci kesuksesan kedua adalah
adanya mentor. Dalam buku Outliers dikarang
oleh Malcolm Gladwell, buku yang menganalisis apa yang diperlukan untuk
mencetak orang-orang yang sangat sukses, dikatakan bahwa salah satu unsur pendukung
sukses adalah adanya mentor, cahaya yang memberikan pemandu dan uluran tangan.
Dalam kehidupan Shalahuddin, ayahnya memberikan contoh perilaku yang baik
kemudian dua mentor Shalahuddin adalah pamanya, Syirkuh yang merupakan pejuang
tangguh dan Nuruddin, penguasa Aleppo dan Mosul, calon pemersatu Islam, dan
orang yang memberikan kesempatan untuk meraih kekuasaan di Mesir.
Tidak cukup hanya itu, kunci
kesuksesannya yang lain adalah kekuatan visi. Visi yang menggugah merupakan
perpaduan langka dari situasi yang tepat, visi yang tepat, dan orang yang tepat
yang harus mengimpikannya, mengkomunikasikannya, dan mendapatkan pengikut yang
mempercayainya. Untuk itu, Shalahuddin memiliki visi yakni dunia Islam yang
bebas dari orang luar non-Islam dan anti-Islam. Pemimpin yang memiliki visi
yang beresonansi memiliki semangat yang tulus untuk visi mereka kemudian
semangat itu menular.
Terakhir, unsur yang tak terlepas
dari diri Shalahuddin dalam kepemimpinannya adalah kesiapannya untuk menanggung
kesulitan. Setiap kepemimpinan revolusioner menuntut akan hal itu. Dalam
kata-kata James MacGregor Burns, “Pemimpin harus benar-benar mengabdi pada
tujuannya dan mampu menunjukkan komitmen tersebut dengan meluangkan waktu dan
usaha untuk itu, mempertaruhkan nyawa mreka, menjalani hukuman penjara,
pengasingan, penganiayaan, dan kesulitan tanpa henti.”
Seperti yang dialami oleh
Shalahuddin, ia telah melakukan ekspedisi, bertempur, mempertaruhkan nyawa, dan
nyaris meninggal karena penyakit. Penderitaan yang ditanggung bersama tidak
menjamin kesuksesan, banyak pemimpin yang pemberani tetapi salah mengambil
langkah kemudian meninggal sia-sia dan terlupakan. Akan tetapi, penolakan untuk
turut menanggung penderitaan adalah kepastian kegagalan.
Comments
Post a Comment