Refleksi
[Bukan Cerpen] Lampu
remang-remang merefleksikan bayangan di dinding. Hawa dingin mengelus kulit.
Berry melihat dari kejauhan. Badannya merinding. Sesosok terefleksi di dinding.
Bayangan itu duduk di kursi dan meja bundar. Seperti menanti sesuatu.
Jasad-jasad bergelimbangan di lantai. Suasana semakin mencekam. Ia tak berani
mendekati maupun menengok ke belakang. Ia bersembunyi di balik tembok.
PRANNGG
Tanpa
sengaja pot bunga di atas meja tersenggol jatuh. Perasaanya tak karuan. Sesosok
bayangan itu seperti menatapnya. Pandangan sesosok itu menuju ke arahnya.
“Arghh
apa yang harus aku lakukan, tak ada tempat lari lagi,” guman Berry dalam hati.
Sesosok bayangan itu berdiri. Ia mengambil serbet, dikibaskannya. Tampak dari
refleksi di dinding, sesosok itu mengeluarkan sesuatu.
Sebuah
pistol.
Sesosok
itu mengelap pistol dengan serbetnya. Bulu kuduk Berry berdiri, tak tahu apa
yang akan terjadi.
PRAAANGGG
Tembakan
pertama dilepaskan, mengenai lampu gantung. Ruang berubah gelap. Hanya sepercik
cahaya lampu jalan memasuki ruangan.
Tiba-tiba
sunyi.
PRAAANGG
Suara
tembakan kedua mengenai kaca jendela. Terdengar suara langkah kaki bergerak
cepat. Lebih dari dua orang tampaknya. Berry diam membeku. Ketakutan
menguasainya untuk berpikir. Suasana menjadi ribut. Sesosok misterius itu
ternyata memanggil kawanannya. Pistol yang terrefleksi di dinding cukup membuat
Berry stres.
DORRR!!
Tembakan
dilepaskan ke arah Berry. Namun meleset menggores bajunya. Rupanya Berry telah
ketahuan. Berry mengambil langkah, sebelum
peluru melesat lagi. Ia berlari menuju sebuah lorong. Tembakan
betubi-tubi dilepaskan. Untunglah Ia lebih cepat. Lorong itu gelap, seberkas
cahaya pun tak ada. Ia masuk ke lorong itu. Kemudian mengganjal pintu rapat.
Berlari terus hingga ke ujung lorong.
BAAAGHH
Baru
sampai di ujung lorong. Pukulan melesat ke wajah Berry. Ia terpelanting ke
samping, berguling dua kali.
“Haloo
anak muda,” suara halus dari sesosok hitam.
Hampir
tak ada cahaya di ruangan. Garis-garis cahaya di langit-langit tak cukup
melihat wajah sesosok itu. Berry mencari-cari asal suara. Ia masih terbaring di
lantai. Sesosok hitam itu jongkok membelakangi kepala Berry.
“Siapa
kau?,” tanya Berry ketakutan.
“Aku
adalah kau. Kau adalah aku,” jawabnya dengan nada berat.
“Apa
maksudmu?,” Berry kebingungan.
“Aku
adalah hasratmu. Aku adalah keinginanmu. Aku adalah kau.” Seru sesosok itu.
“Hah..
sebenarnya apa yang telah terjadi,” Berry semakin kebingungan.
Sesosok
hitam itu menatap tajam mata Berry.
“Kau
tahu apa yang telah kau lakukan. Aku yang telah mengendalikan tubuhmu. Tanganmu
telah terkotori. Kau yang telah membunuh semua orang itu.” jawabnya menatap
lamat-lamat.
Berry
menelan ludah, “Apa kau bercanda? Aku jelas-jelas tak membunuh siapa pun,” seru
Berry dengan keras.
“Iya,
kau adalah pembunuh,” balasnya dengan nada berat.
Berry
terjebak dalam situasi yang membingungkan. Ia tak paham dengan apa yang tengah
terjadi. Ia hanya terdiam berharap sosok itu segera pergi. Namun sosok itu
malah semakin mendekatinya.
“Pergiii.
Jangan mendekat,” teriak Berry berusaha menjauh darinya.
Sesosok
hitam itu malah memegang pundak Berry. Berkata pelan tepat ke arah telinga
Berry.
“Aku
adalah masa lalumu. Kau tak bisa lari dari masa lalumu. Masa lalumu penuh dosa
dan kehampaan. Seberapa pandai kau mencoba menghindar. Tetap saja masa lalumu
akan mengikutimu kemanapun.”
“ARRGGGHH,”
Berry berteriak. Ia tak tahan lagi. Ia menjauh kemudian berlari sejauh mungkin
dari sosok hitam itu. Ia memasuki lorong terusan. Gelap, sama gelapnya. Hanya
cahaya diujung yang terlihat.
“Tempat
apa ini?” guman Berry keheranan.
Di
ujung lorong itu terdapat hutan luas. Bukan hutan biasa namun hutan mati.
Suasananya mencekam. Hanya sedikit berkas-berkas cahaya yang menembus melewati
pepohonan. Sebagian dari pohonnya telah mati dan membusuk.
“Haloo
anak muda.. apa yang telah membawamu kesini?” bisik seseorang dari belakang.
Berry
terkaget hingga mendorong tubuhnya ke depan. Tepat di belakangnya ada sosok
pria tua membawa pisau sabit setinggi badan.
“Tidak
tahu pak. Saya juga bingung kenapa bisa sampai sini,” balas Berry pelan.
Pria
tua itu mengeryitkan dahi.
“Kau
adalah pembohong!” seru pria tua itu tegas.
Berry
semakin kebingungan dihadapkan situasi yang aneh. Pria tua itu mendekatkan
sabitnya ke leher Berry. Keringat Berry bercucuran.
“Sekali
lagi.. apa yang telah membawamu kesini? atau sabit ini akan memenggal
kepalamu,” ucap pria tua itu menatap lamat-lamat.
“Saya
benar-benar tidak tahu pak. Tolong jangan bunuh saya,” jawab Berry lemas.
Pria tua
itu diam sejenak. Seperti memikirkan sesuatu.
“Hmm
sepertinya kau orang baru. Kalau begitu cepatlah pergi dari sini,” seru pria
tua itu dengan tegas.
Belum
selesai mencerna kata-katanya. Si pria tua itu menendang Berry tepat mengenai
perutnya. Berry terpelanting dan berguling-guling jauh. Ia terpeleset masuk ke
dalam sebuah lubang besar dan dalam. Lubang yang seakan tak berujung. Di dalam
gelap gulita. Bayang-banyang masa lalunya menghantuinya. Tentang apa yang telah
ia kerjakan selama ini. Ia tak tahan dan terus menjerit. Berharap keajaiban
akan datang.
Seberkas
cahaya terlihat di ujung. Semakin besar semakin menyilaukan. Tubuhnya
terpelanting di lantai. Ternyata ini adalah tempat awal dia berada. Di sebuah
ruang dengan meja-meja yang telah berantakan. Dan juga mayat-mayat bergelimpangan
darah. Berry dikepung oleh segerombolan polisi. Mereka mengarahkan pistol tepat
ke arahnya.
Salah
seorang polisi bertanya.
“Anak
muda.. apa yang telah kau lakukan selama ini?”
Lagi-lagi
pertanyaan membingungkan kembali.
“Apa
maksudmu? Saya tak melakukan apa-apa pak,” balas Berry ketakutan.
Polisi
itu mendekati Berry. Kini moncong pistolnya menyentuh keningnya.
“Bohong!
sekali lagi.. apa yang telah kau lakukan selama ini? atau pelatuk ini akan ku
tarik,” serunya tegas.
“Aku
memang tak melakukan apa-apa pak,” jawab Berry lemas kelelahan.
DORRRRR
Pelatuk
telah dilepaskan. Penglihatan Berry kini gelap. Tak ada seberkas cahaya pun.
“Apakah
aku sudah mati?” pikir Berry.
Walau
tembakan telah dilepaskan. Namun Berry tak merasakan apa-apa. Kini dia berada
di tempat yang gelap. Entah itu dimana.
“Haloo
anak muda.. kita bertemu kembali,” seru seseorang entah darimana asalnya.
Berry
sepertinya mengenali suara itu.
“Bukankah
kau adalah sosok hitam tadi?” tanya Berry dengan nada lirih.
“Sesok
hitam? terserahlah kau menyebutku siapa,” balasnya ketawa.
“Tolong
jelaskan padaku apa maksud semua ini?” tanya Berry memohon.
Suasana
hening sejenak.
...
“Aku
adalah kau. Kau adalah aku. Kau telah membunuh waktumu. Kau telah
menyia-nyiakan waktumu. Lihatlah ketika kau telah membuang waktumu pada hal
yang sepele. Apakah hidupmu berarti? Kau tak jauh bedanya dengan hutan yang
mati. Memberi kesan kehampaan dan tak berarti. Hidupkan lah hutanmu sebelum
mati seluruhnya. Yakni ketika waktumu telah habis. Pergunakanlah waktumu selagi
masih sempat, menghidupkan hutanmu agar memberi manfaat kepada sekitar.
Ingatlah waktumu tak banyak maka lakukanlah sekarang,” jawab suara itu.
Berry
masih mencerna kata-katanya. Namun tiba-tiba kepalanya pusing.
Berry
terbangun di kasur. Gawainya masih menyala. Sepertinya baru saja ia memainkan
game favoritnya. Ia tersadar bahwa ia telah bermimpi. Namun Ia juga sadar bahwa
waktunya telah terbuang oleh gawai. Ia terlalu hanyut dalam dunia game.
Berry
berpikir sejenak. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Berry menutup gawainya
kemudian melanjutkan belajar.
Oleh Miftahul Arifin 17/10/15
Kelas Menulis Fiksi AKSARA
Comments
Post a Comment